Pembuktian

Posting Komentar

 

Untuk kesekian kali, gadis di depan cermin bertanya pada sosok dihadapannya.

"Bukankah aku sudah cantik?"

Ia memutar badan, memastikan tak ada yang kurang. Lusy masih memandangi pantulan dirinya di cermin, mengagumi betapa matching outer warna mint barunya dengan setelan kaos bergaris dan celana jeans gelap. Setelah memastikan make up-nya rata serta kaca matanya pada posisi sempurna, ia menyelempangkan tas warna hijau tua di pundak lalu merapikan kembali jilbab yang sudah ia model sedemikian rupa dilehernya.

Sekali lagi ia tersenyum manis di hadapan cermin.

Meski semua sudah tampak siap dan sempurna, Lusy tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa sesungguhnya ia amat gelisah. Setelah berselang lima tahun, untuk pertama kalinya ia akan bertemu kembali dengan teman-teman SMP. Itu artinya bertemu dengan sekelompok anak laki-laki yang sering iseng memintanya mengerjakan PR mereka, dengan si Putih gadis atlet yang pernah pura-pura tidak sengaja melemparkan bola voli ke kepalanya, dan lebih khusus lagi dengan Aira si ketua geng, si cantik nan ambisius yang selalu menatapnya dengan sinis dan remeh.

Tapi demi bisa bertemu sahabat baiknya yang supel, Qanita dan demi - ini alasan tersembunyi yang enggan Lusy akui - membuktikan khususnya pada Aira dkk bahwa sekarang ia adalah sosok yang berbeda, Lusy memberanikan diri untuk hadir reuni. Ia ingin menunjukkan bahwa Lusy yang sekarang adalah sosok berbeda, yang bisa berbicara dengan lancar bukan tergagap, sosok yang terbuka dan percaya diri bukan lagi gadis lugu dan ringkih.

Lokasi reuni sekaligus buka bersama itu diadakan di halaman sekolah SMP nya dulu, sekitar 4 km dari rumahnya. Meski begitu, kali ini bagi Lusi waktu seperti berjalan dua kali lebih cepat. Tahu-tahu mobil yang ia tumpangi berhenti di depan sekolah, tahu-tahu ia sudah berada ditengah riuh ramai halaman sekolah, tahu-tahu ia sudah duduk bersebelahan dengan Syifa dan mengobrol banyak hal.

Sesekali, Lusy juga disapa dan menyapa beberapa kawannya yang dulu sekelas, diantaranya menciptakan suasana kaku namun sejauh ini semuanya berlangsung normal.

Hanya saja, sampai sekarang Lusy belum juga menangkap sosok Aira.

"Ngomong ngomong aku belum melihat Aira dan kawan kawannya, mereka belum datang?" Kata Lusy tiba-tiba mengubah alur pembicaraan.

"Lho, mereka justru hadir paling gasik di sini, Lus. Itu tuh Aira, yang duduk di samping panggung." Qanita menunjuk seseorang yang tak jauh dari mereka.

Lusy lekas mengalihkan pandangan ke area sebelah panggung. Lusy yakin menangkap sosok yang tidak asing disana. Ia pun menyipitkan mata, kemudian melepas kaca matanya, memicingkan mata, dan memakai kaca matanya lagi dan masih tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Itu sungguh-sungguh Aira?" Tanya Lusy retoris.

Qanita mengangguk mantap. Lusy masih menatap lamat-lamat sosok di ujung sana sembari berusaha meyakinkan matanya. Ia tidak percaya, Aira benar benar... terlihat berbeda.

"Serius?" tanya Lusy sekali lagi.

Aira si cantik yang dulu diam-diam Lusy kagumi betapa lurus dan mengkilat rambut hitamnya, si ketua geng yang angkuh ketika berjalan, berbicara, dan begitu sinis ketika menatap dirinya. Kini dia tampak sama sekali berbeda!

Ia berhijab! Iya, berhijab. Dengan hijab yang lebar menutup dada pula. Ia memakai rok panjang dan cardigan selutut yang nampak rapi. Semuanya nampak terlalu sederhana buat sosok Aira yang ia kenal dulu. Di lain sisi, Lusy tak mengingkari bahwa Aira terlihat semakin anggun.

"Banyak juga yang enggak percaya, Lus. Dengar-dengar suatu ketika tiba tiba semua foto dirinya raib di Instagram, tersisa beberapa saja. Dan setelah sekian lama, ia muncul kembali di sosmed dengan tipe postingan yang bener-bener beda kaya kata kata gitu, nasihat-nasihat."

"Yaa siapa yang tau masa depan seseorang kan, Lus. Orang-orang yang sekarang kita judge begini dan begitu.. Kita ngga pernah tahu perjuangan apa yang sedang ia jalani.. dan bagaimana Allah mengatur jalan hidupnya ke depan." lanjut Qanita.

Lusy masih menyimak dengan serius.

"Dan kalau kamu tahu Lus, katanya nih ya, katanya.. perubahan itu dimulai sejak Ibu Aira meninggal."

Lusy mengangguk-angguk. Bersimpati pada Aira.

Meski begitu, Lusy menyadari bahwa tiba-tiba ada gelombang perasaan mengganjal di hatinya. Amat ganjal dan tidak nyaman.

"Kenapa jadi diam aja Lus? Oh iya, sebenarnya ini mau aku sampaikan nanti aja kalau udah sepi, tapi karena udah terlanjur bahas Aira, dua hari lalu ia mengontakku dan minta nomor whatsapp kamu Lus."

"Eh serius? Buat apa?"

Qanita mengerdikkan bahu, "Mau ngajak hijrah juga kali..."

Lusy refleks menyikut Qanit.

Seorang Aira meminta nomor whatsapp nya? Ini hal yang tidak wajar. Masih dengan perasaan mengganjal yang semakin menjadi-jadi, terngiang di kepala Lusy sepatah kalimat yang disampaikan Qanita.

Kita ngga pernah tahu perjuangan apa yang sedang ia jalani.. dan bagaimana Allah mengatur jalan hidupnya ke depan.

Dalam batin, Lusy bertanya pada diri sendiri dengan sarkas,

Sekarang, kepada siapa kamu mau membuktikan diri?

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar